Sebuah Cerpen - Rasakanlah Ukhuwah!



“Apakah ukhuwah itu wajib atau sunnah?” kata itu urung hilang dari pendengaran. Bagai bom kata yang menanyakan perihal ukhuwah yang terjalin selama ini. Aku tak mengerti mengapa belia syar’i itu melontarkan kemisteriusan kata yang harus dipecahkan.

Mudah saja, belia syar’i berwajah oriental sipit kecinaan itu sering mengamati pergerakan ukhuwah kami. Ia begitu jeli mengkritisi aktivis dakwah yang cenderung dekat dengan teman-teman yang bisa dikatakan jauh dari kata syar’i, bahkan berani menanggalkan kesyar’iannya demi mendapat label layak mendapatkan teman di lingkungan tempatnya mengais ilmu.

Ya, bisa dikatakan proses adaptasi yang dilakukan oleh para aktivis yang berada di medan sistem barat itu lebih membaur, mengikuti perkembangan sistem barat yang ada. Pakaian syar’i yang dahulu memanjang kini menjadi memendek dan tak seperti perintah syariat lagi. Ditambah lagi dengan benteng pergaulan yang rentan akan kebebasan yang sudah tidak bertameng lagi.

Sebut saja Mawar, sebagai tokoh aku yang disamarkan identitasnya. Aku tak mengerti mengapa sejak berkenalan dengan Hana, seorang kristiani taat yang sangat peduli denganku, menjadikan hubungan ukhuwah di antara para aktivis dakwah semakin renggang.

Awalnya dia memasuki kehidupanku dengan begitu halusnya. Mengajakku untuk aktif berkoperasi dan menawarkan berbagai aktivitas kegiatan yang positif, sampai memberikan amanah fantastis ketika ia berhasil menjadi ketua di sebuah event bergengsi di kampus putih itu.

Aku juga tak mempunyai pikiran negatif ketika hari-hariku dihabiskan bersama dia. “Ukh, dimana? Kita akan mengadakan event di bulan Ramadhan. Ukhti Mawar bisa meluangkan waktu untuk bersama-sama mengurus acara kami?” suara di seberang sana segera ku matikan, karena mengingat jika berada di jalan dakwah itu, aku hanya dijadikan sebagai kacung, tak ada amanah prestesius yang diberikan kepadaku, hanya disuruh ke sana ke mari dan tanpa melepas senyum meninggalkan ketidakberdayaan itu. Tidak seperti bersama Hana, ia memberikan apa yang aku inginkan, bahkan jabatan yang tidak aku bayangkan sebelumnya.

Ukhti syar’i itu mencoba berkali-kali untuk menghubungiku, namun hati yang tertambat pada kekuasaan yang membuatku berpikiran sempit untuk meninggalkan jalan dakwah ini. Pikirku kala itu, biarlah, biarkan mereka yang berlelah-lelah, aku di sini sudah cukup senang dengan komando memerintah yang tanpa perlu diperintah-perintah.

Namun, suatu masa menyadarkanku. Hana mengajakku ke perpustakaan. Sebelumnya, ia bertemu dengan teman kristianinya, namun aku tak boleh mengerti apa yang mereka bicarakan. Hana menyuruhku untuk menunggu di luar sebentar. Dan setelah dia selesai, baru aku diperbolehkan masuk perpustakaan.

Aku tak mengerti, mengapa kritiani disebelahku, yang tak ku kenal sebelumnya, begitu getol mendekatiku. Ya, aku tahu, kristiani itu begitu rupawan, namun karena keimanan yang memutar akalku berjalan lagi sehingga terbesit dalam hati,

apa ini semua hanya sebuah rencana? Apa kedekatanku dengan Hana juga sudah diperhitungkan sebelumnya? Apa agenda mereka memisahkan aku dari jalan dakwah ini dengan cara seperti ini? 

Dan berbagai pertanyaan yang membuatku merindukan teman-teman syar’iku. Sebelumnya aku begitu takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada kawan-kawan dakwahku. Aku begitu takut, mereka tidak mau menerimaku kembali. Sudah sesemester ini aku meninggalkan mereka. Bahkan mematikan sambungan telephon yang berusaha mencoba menghubungiku. Aku begitu angkuh dan rapuh terhadap sebuah kekuasaan. Aku tak sanggup mengerti makna yang tersirat dari pengkaryaan yang tersembunyi kepadaku.

Halus sekali, sehingga aku tak sadar akan makna yang tersirat. Aku dijadikan target yang diseret untuk mengikuti mereka. Seharusnya aku yang menyeret mereka untuk masuk ke dalam kedamaian. Namun kepentingan itu telah menjadikanku ujub dan jatuh dengan sendirinya. Tak sebodoh itu, aku berusaha menanyakan semua yang menjadikan aku sebodoh ini,

“Hana, aku ingin bertanya, apakah kedekatan kita selama ini adalah sebuah agenda besar untuk menjadikan aku jauh dari teman-temanku? Apakah dengan kau menawarkan pemuda tampan ini, menjadikan aku masuk ke dalam agamamu? Ingat, Hana. Agamaku agamaku dan cukuplah agamamu agamamu. Aku berpegang teguh pada tali buhul islam yang bisa dijaga bersama eratnya ukhuwah. Melalui mereka aku terjaga, dan melalui mereka aku bisa diselamatkan dari panasnya api neraka.”

“Tidak, Mawar. Kamu salah paham. Kami tidak memaksamu untuk mengikuti agamaku, namun aku hanya tak ingin kau bersedih, karena kesepian yang kau hadapi. Aku mencarikan teman yang pantas untuk kau berbagi kasih dengannya.” Tangkasnya.

“Hana, apa kau ingin mengajariku untuk berpacaran? Aku tidak kesepian seperti yang kau sangkakan itu. Aku mempunyai ayah, ibu, adik, dan sahabat-sahabatku yang sedang berjuang bersama namun, aku meninggalkan mereka. Kasihku tersalurkan kepada mereka, dan aku belum membutuhkan kasih dari seorang lawan jenis, sebelum ia menjadikannya halal untukku.”

“Maksudmu, kamu ingin kita menikah?” sela pemuda berhidung mancung dan menatap lekat mataku.

“Tidak, aku tidak mau menikah dengan seseorang yang berbeda keyakinan, dalam agamaku, itu sama saja berzina seumur hidup. Maaf Hana, aku menghormati kau sebagai temanku, tapi aku lebih menghargai teman-teman dakwahku yang rela berjuang bersama tanpa ada hasrat menjerumuskan. Kita masih tetap berteman, tidak ada permusuhan di antara kita. Aku tidak sama sekali membencimu, tapi untuk kali ini, ijinkan aku kembali kepada kawan-kawan yang telah menantiku. Terima kasih atas jabatan yang telah kau berikan padaku, dan itu memberikan pengalaman untukku.” Kemudian dengan senyum yang sangat tulus, aku memunggungi mereka, aku tak sampai hati berlaku kasar atas tindakan yang tidak enak hati itu.

Hana seperti berdesis kehilangan targetnya. Terlihat lembutnya berubah menjadi mencericau. Kemudian tak lama setelah aku kembali kepada kawan-kawan seperjuanganku, tersiar kabar bahwa aku telah mendustakan mereka. Kabar itu begitu sumbang di telinga. Artikel mengenai kedekatanku dengan Hana sesemester itu menguak semua kegilaanku terhadap jabatan. Ia menulis tentangku akan kesenanganku memberikan perintah pada anggota yang tergabung dalam acara besar yang ia ketuai, ia juga menulis bahwa aku hanya seorang aktivis dakwah yang membutuhkan sebuah jabatan yang prestesius hingga meninggalkan jalan dakwahnya itu. Ia menyangkal aku sebagai perempuan yang suci, yang menolak pemuda tampan dari golongannya. Ia juga menulis, seorang munafik yang kembali kepada selimutnya untuk mendapatkan kehangatannya kembali.

“Apa-apaan ini?” bantahku setelah membaca artikel yang sengaja di tempel di kolom mahasiswa. Berseliweran bebas membaca dengan mudahnya. Dan parahnya artikel tersebut menyebutkan nama dengan gamblangnya. Aku lemas melihat semua ini. Mata sinis menyerangku. Kemudian menyinyir bagai tak menggunakan intelektualitasnya.

“Mawar, jika dia menyerangmu dengan tulisan maka kau juga harus menjelaskannya dengan tulisan. Tulis saja apa yang kau dapatkan selama bersamanya. Dan berikan ulasan pembelaan supaya mereka juga sadar mengapa kau melakukan hal itu. Jangan takut, ada kami di sampingmu.” Ukhti syar’i itu menguatkanku dan menumbuhkan rasa bangga terhadap ukhuwah ini. Aku memeluknya dan meneteskan satu air mata haru, menyalurkan energi positif untuk tidak meninggalkan jalan dakwah ini.

Sejatinya tidak ada kewajiban untuk membentuk sebuah ukhuwah. Kita lah yang membutuhkan ukhuwah tersebut. Aku lah yang membutuhkan tali silaturahmi yang yang dapat mengantarkanku pada jalan yang lurus. Hana memang baik, baik sekali. Namun sekali dilukai, ia akan menyeringai mengeluarkan taringnya. Dan mereka, ukhti-ukhti syar’i bermata teduh, walau pun aku sering membuat mereka kecewa bahkan meninggalkan di saat mereka membutuhkanku, mereka tetap meneduhkan hatinya untukku dan tetap membelaku meskipun aku telah melukai hati mereka.

Aku menjadi malu dengan diriku sendiri, mengapa aku seangkuh itu, ketika aku mendapatkan jabatan yang tidak kekal abadi, jabatan itu semu. Bahkan tidak ada harganya jika sudah tidak bergabung lagi bersama mereka. Tapi ukhuwah ini kekal abadi, tidak ada kata semu di dalamnya. Walaupun di suruh ke sana ke mari, itu karena kami bergerak bersama-sama, tidak ada yang berpangku tangan atau bahkan merasakan kesenangannya sendiri di atas peluh teman-temannya. Membaur, meringankan satu sama lain, dan saling menguatkan. Kemudian melingkar bersama dalam dekap ukhuwah yang meneduhkan.
 

Lu’lu Mar’atus Sholihah, Sastra Indonesia – UNSOED

0 Response to "Sebuah Cerpen - Rasakanlah Ukhuwah!"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel